Thursday, November 4, 2010

Kiai Petruk, ’badan alus’ penguasa Merapi Sajennya kopi gula jawa dan singkong bakar

KETIKA Merapi bergolak, maka kisah-kisah mistis pun muncul. Pernah beberapa tahun lalu, Merapi meletus pas TPI (sekarang MNC TV) menayangkan film Misteri dari Gunung Merapi. Orang pun menghubung-hubungkan. Dan, yang sudah menjadi kebiasaan bila Merapi bergolak adalah, tidak lepasnya nama Kiai Petruk. Bagaimana mitos Kiai Petruk ini muncul? Inilah sebuah versi yang ada di Boyolalicyber Dot Com. Karena versia yang lain juga ada.


Di sisi timur Merapi, di wilayah Boyolali, terdapat sebuah wilayah bernama Cepogo. Bagi masyarakat Cepogo, kisah Mbah Petruk ini sudah demikian lekat. Petruk yang dikenal sebagai tokoh punakawan anak Semar dalam dunia pewayangan, ternyata tidak ada hubungannya sama sekali dengan Kiai Petruk Merapi ini.

Terkisahlah semasa pemerintahan Kerajaan Majapahit (Prabu Brawijaya terakhir) hampir berakhir karena terdesak oleh kekuasaan Demak. Sebenarnya antara Majapahit dan Demak telah ada persetujuan perdamaian. Namun, karena ada salah seorang di antara keluarga atau keturunan Raja Majapahit masih menganut keyakinan lama (Hindu), sedangkan penguasa baru Kerajaan Demak (Raden Patah) beragama Islam, maka seorang keluarga atau keturunan Raja Majapahit itu meneruskan keyakinannya dengan menempati sebuah tempat baru, yaitu di lereng sebelah timur Gunung Merapi.

Permukiman baru ini dinamai Tegalsruni (sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Selo). Yang paling dituakan dari keluarga tersebut adalah Kiai Patradita yang menurunkan Kiai Mentawiji. Kiai Mentawiji menurunkan dua anak, yang pertama Kiai Wirogati meninggal dan dimakamkan di Desa Bulu (Kecamatan Selo). Sedangkan anak yang kedua Kiai Wirodita, yang menurunkan anak Kiai Reksayuda I (Kiai Dahlan). Kiai Wirodita meninggal dan dimakamkan di Desa Tunggulsari, Kecamatan Cepogo.

Sosok aneh
Kiai Reksayuda I adalah tokoh prajurit Mataram dengan nama pemberian Raja Mataram. Kiai Reksayuda mempersunting putri Kiai Ragasasi yang juga salah satu keturunan kerabat Kerajaan Mataram. Dari perkawinan ini lahir empat anak, yaitu Kiai Reksayuda II, Kiai Prawirayuda, Kiai Wirayuda, dan Suladi. Nah, Suladi inilah yang kemudian disebut dengan nama lain dengan garis keturunan Handakakusuma ini disebut dengan nama Mbah Petruk.

Mengapa dipanggil dengan sebutan Mbah Petruk? Karena tubuhnya tinggi atau jangkung membuatnya mendapatkan julukan tersebut seperti tokoh Petruk dalam pewayangan. Handakakusuma semasa kecil ikut dengan saudara tuanya, yakni Kiai Reksayuda II. Tetapi Handakakusuma memiliki sikap aneh lain sekali dengan sifat dan perbuatan saudara-saudaranya yang lain. Dia tidak suka mandi bahkan tidak pernah mandi, tidak mau bekerja atau membantu pekerjaaan orang tuanya bertani atau menggembalakan ternak.

Kesukaannya bepergian tidak jelas arah, maksud dan tujuannya dan terkadang sampai berbulan-bulan. Dia suka menyusuri Kali Gandul mulai dari hulu di daerah Sidapeksa yang merupakan pangkal dari Kali Gandul. Untuk urusan kasekten dia dikenal luar biasa. Dia dikenal titis, setiap perkataan yang ia ucapkan selalu benar. Akibat dari kelakuannya yang aneh tersebut, Handakakusuma kerap dimarahi orang tuanya. Namun Handakakusuma tak peduli, dan hanya mengikuti kata hatinya.

Pada suatu saat setelah Handakakusuma menjelang dewasa, kakaknya Kiai Reksayuda II merencanakan khitanan untuk sang adik. Dengan berbagai macam kelengkapan sudah disiapkan, termasuk di dalamnya adalah sepotong baju baru untuk upacara khitanan tersebut. Sebagai syarat memakainya si pemakai haruslah mandi terlebih dahulu. Tetapi itu pantangan bagi Handakusuma.

Maka dengan susah payah Kiai Reksayuda II berhasil membawa paksa sang adik ke Kali Gandul untuk dimandikan. Namun mengagetkan, karena setelah masuk ke air, Handa kusuma tak muncul-muncul lagi. Semua orang bingung mencari dan semua anggota keluarga berusaha menemukan Handakakusuma kembali dengan mencarinya di sepanjang Kali Gandul, bahkan sampai ke tebing-tebing curam dicari mungkin ia ada di situ, tetapi tetap tidak ditemukan. Kiai Reksayuda II merasa benar-benar kehilangan, maka segala cara termasuk selamatan diupayakan agar sang adik bungsu dapat kembali. Namun tidak berhasil.

Saat Kiai Reksayuda II sedang merenungi nasib adiknya, tiba-tiba terdengar suara gaib: ”Kakang Reksayuda, aja susah-susah ngupaya aku, aku wis ora bakal kumpul maneh lawan kakang ing salawas-lawase. Samengko aku dedunung mengkoni Gunung Merapi ana ing alam kaalusan (Kakak Reksayuda janganlah bersusah payah mencari aku, aku sudah tidak bisa berkumpul lagi dengan kakak untuk selama-lamanya. Sekarang aku berada menguasai Gunung Merapi di alam gaib).

Si badan alus Handakusuma bersuara lagi, Menawa kakang ketemu karo aku ana sarate, sesajia wedang bubuk gula jawa lan jadah bakar, yen slametan memula aja lali tumpeng sega gunung panggang buta, lan aja lali genepana sesajen pohung bakar. Yen ana pepeteng atimu kakang, dalah satedhak turunmu uga sarana sesajen iku, aku bakal rerewang bisa oleh pitulungan pepadhang. (Kalau kakak ingin menemui aku ada syaratnya, sajikanlah minuman kopi dengan gula jawa dan jadah bakar, kalau selamatan kebaktian, jangan lupa tumpeng nasi jagung dengan lauk tempe bungkil yang dibakar, dan jangan lupa genapnya sesaji dengan singkong bakar. Apabila kakak sedang dilanda kesusahan, demikian juga dengan anak cucu kakak, dengan sesaji demikian, aku akan membantu agar di dalam kegelapan mendapatkan pertolongan dan penerang).

Maka berserahlah Kiai Reksayuda II atas segala takdir yang menimpa adiknya karena yang didengarnya baru saja memang suara adiknya-Handakakusuma yang telah berada di alam gaib. Pesan adiknya itu tengiang dan tertanam dalam benak sang kakak meresap menjadi kepercayaaan sampai turun temurun, setiap kali timbul masalah Kiai Reksayuda selalu mengadakan sesaji seperti apa yang diberitahukan sang adik. Kepercayaan tersebut akhirnya menyebar sampai daerah Cepogo dan lereng Gunung Merapi bagian timur.

Sampai saat ini jika masyarakat sekitar wilayah tersebut menyelenggarakan upacara penikahan, mendirikan rumah dan sebagainya, orang tidak akan lupa untuk menyiapkan sesaji seperti apa yang telah diuraikan diatas, hal ini dilakukan semata-mata masyarakat yang bersangkutan ingin agar mendapatkan pertolongan dari Kiai Petruk, yang sekarang sudah menjadi penghuni alam gaib dan memerintah makhluk halus Gunung Merapi. Widiyartono R-ip - wawasan sore

No comments:

Post a Comment

Bagikan ke :