Monday, November 1, 2010

" Saya Tak Punya Naluri Keibuan "

Saya seperti dihampiri kiamat kecil, waktu tahu diri saya hamil (walaupun ada sedikit rasa lega, karena saya tidak punya masalah kesuburan seperti yang dikhawatirkan keluarga saya). Saya anak tunggal yang cenderung soliter. Bahkan, meski usia sudah kepala tiga, saya jauh dari sifat keibuan. Saya nggak begitu senang pada anak kecil, dan terlalu mencintai kehidupan yang mobile. Selain bekerja 9 to 5, saya punya agenda gaul, pesta, dan traveling yang tak pernah putus.

Makanya, saya sedikit terganggu dengan kenyataan bahwa hidup saya bakal berubah. Pertanyaannya, mampukah saya menjalani masa kehamilan, persalinan, menyusui, dan motherhood dengan tangan terbuka? Bergaul dengan ibu muda saja agak anti, karena tak pernah tertarik pada topik seputar bayi. Bagaimana ini?

TAK MAU BERUBAH GAYA HIDUP
Kebutuhan saya untuk keluar rumah memang ekstrem. Minimal dua kali seminggu sepulang kantor, saya mencari acara gaul. Entah hadir di event sosialita atau sekadar hang out. Sementara, kalau ada long weekend (kecuali ada pekerjaan mendesak atau dompet benar-benar tidak bersahabat), sudah dipastikan saya akan terbang ke Bali atau Singapura bersama teman-teman terdekat. Kalaupun stay di Jakarta, maka clubbing di akhir pekan menjadi acara wajib.

Setelah status berubah menjadi istri, gaya hidup ini tak berubah, bahkan makin menjadi. Saya seolah punya tiket untuk pulang pagi dan tidak jadi bulan-bulanan Ibu lagi. Saat mengetahui kehamilan saya telah memasuki usia 7 minggu, saya sempat dag-dig-dug. Sebab, minggu-minggu sebelumnya saya tak pernah absen mengonsumsi wine.

Di lain pihak, orang tua saya senang luar biasa. Maklum, mereka membutuhkan waktu 10 tahun untuk menanti kehadiran saya. Karena ini adalah bakal cucu pertama mereka, jadilah mereka mengeluarkan berbagai wejangan (tepatnya, larangan): harus banyak istirahat, tidak boleh ‘terbang’ sampai masuk trimester dua (hanya boleh penerbangan singkat), tidak boleh pakai sepatu hak tinggi, tidak boleh kena asap rokok, dan harus kembali tinggal bersama mereka setelah kehamilan 36 minggu.

Larangan terakhir ini, jujur saja, membuat saya sebal setengah mati dan spontan menyalahkan janin tak berdosa di perut.

Untunglah kehamilan ini tidak terlalu bikin saya stres. Soalnya, tidak banyak yang berubah. Morning sickness tidak terlalu parah, saya tidak alergi terhadap bau-bauan, dan yang terpenting, I still feel and look good. Oleh semua orang, saya dipuji glowing. “Tambah cantik,” kata mereka. Saya pun tetap rajin nyalon dan melakukan segala macam perawatan tubuh.

Urusan gaul, juga jalan terus. Saya tetap bebas merdeka, karena kehamilan tidak bermasalah dan penampilan tetap manis (bobot saya naik 12 kg dan hanya di perut). Acara fashion show, ngopi, lounging, bahkan acara bachelorette dan tahun baru di Bali pun, saya sempatkan hadir.

Hanya, urusan clubbing frekuensinya melorot drastis dan saya stop minum wine. Namun, saat trimester dua, saya mulai cuek. Tetap pergi ke club, asal sistem sirkulasi udaranya bagus. Teman-teman pun mengerti untuk tidak merokok dekat saya. Rekor saya adalah clubbing di kehamilan 8 bulan.

Walaupun setengah hati, saya mulai memasuki aktivitas wanita hamil umumnya. Saya mengikuti hypnotherapy, hadir di setiap acara baby shower, dan mengunjungi semua teman yang baru melahirkan. Sebulan sebelum persalinan, saya sudah mencari suster newborn. Saya butuh tenaga yang bisa membantu saya menjalani aktivitas menjadi ibu. Jujur saja, saya khawatir bayi tidak terurus dan mengalami baby blues, karena naluri keibuan saya yang belum juga terasah.

MASA-MASA SULIT
Akhirnya, momen persalinan datang juga. Bayi laki-laki saya lahir sehat dan sempurna. Tangis saya pecah saat melihat dia untuk pertama kali, terharu dan penuh rasa syukur. Saat melihatnya untuk kedua kali dan diminta untuk menyusui, saya agak kecewa, dia seperti makhluk asing. Apalagi, antara saya dan dia tak ada kemiripan. Kecewa, karena dia 100% cetakan ayahnya, padahal saya yang capek mengandung dan menanggung sakit setelah operasi.

Hal yang paling sulit saya nikmati setelah persalinan adalah proses menyusui. Pijatan di payudara sakitnya luar biasa. Apalagi, setelah putra saya diletakkan untuk belajar menyusui. Mulut kecil itu langsung menyerbu dengan rakus. Payudara ini rasanya seperti disayat-sayat oleh ribuan pisau. Saya kesakitan, dia kesal dan menangis menjerit-jerit, karena ASI saya tak juga keluar. Sungguh kombinasi sempurna.

Saya juga kesal setengah mati pada suami dan orang tua yang terus memaksa saya menghabiskan sepanci daun katuk dan kacang hijau setiap hari. Padahal, saya sudah ancang-ancang mau makan durian, kambing, sushi, dan minum teh kemasan, yang tak bisa saya konsumsi selama hamil.

Pagi hari sebelum pulang dari rumah sakit, untuk pertama kalinya saya merasakan payudara saya seperti gunung api yang siap meledak, tapi tersumbat sesuatu. Saya coba lagi memberi ASI. Hasilnya, saya malah merasa dililit kawat berduri oleh mulut mungilnya. Saya coba meminjam pompa dari rumah sakit, tapi, baru gerakan kelima, saya sudah menyerah. Payudara saya seperti dibantai gergaji mesin. Keadaan serba salah itu membuat saya frustrasi. Bagaimana caranya bisa survive 6 bulan ke depan untuk memberikan ASI eksklusif?

Ibu saya kerap mengatakan, seorang wanita baru merasakan dirinya sempurna, setelah memiliki keturunan. Namun, seminggu pertama setelah melahirkan, bukannya merasa sempurna, saya justru merasa bluwek, dan tak punya kehidupan. Bila sebelum melahirkan saya selalu tampil kinclong dengan baju dan rambut yang di-blow maksimal, hari-hari setelah melahirkan, seragam keseharian saya adalah daster batik kumal yang penuh cipratan ASI, wajah berjerawat, dan rambut lepek.

Dua minggu pertama setelah melahirkan, jadwal saya hanya satu, yakni menjadi ‘pabrik susu’ bayi saya. Entah itu menyusui secara langsung (seiring waktu sakitnya berkurang), memompa ASI, dan melahap sepanci daun katuk dan kacang hijau. Sungguh rutinitas yang membosankan.

Di minggu-minggu pertama, hampir tiap jam bayi saya meminta jatah susu. Leyeh-leyeh sudah tidak ada lagi dalam kamus kehidupan saya. Saat menyusui, orang tua juga meminta saya mengajaknya berkomunikasi, entah sambil menyanyikan lagu anak atau ngobrol. Tapi, setelah menit kelima, saya merasa twitteran atau BBM-an jauh lebih mengasyikkan.

Saya pernah mencoba 30 menit menyusui tanpa Blackberry dan membaca majalah. Hasilnya, saya malah menangis dan berharap ASI segera habis. Supaya saya bisa diet dan kembali memakai baju-baju gaul, dan lepas dari pompa, breast pad, dan bra menyusui.

MENEMUKAN PERASAAN ’JATUH CINTA’ ITU
Semua kekecewaan dan kekesalan ini saya simpan sendiri. Saya tak berani mengungkapkannya pada dunia. Saya takut dicap ibu gagal, egoistis, dan tak bersyukur. Padahal, saya punya support system yang sempurna. Saya dibantu suster yang bahkan ikut tidur bersama saya, saat saya lelah dan tak mau diganggu urusan menyusui. Suami dan orang tua juga sangat suportif.

Meski begitu, selama 2 minggu pertama, tiap malam tak putus saya menangis dan meratapi kehidupan saya yang baru ini. .Sampai pernah suatu pagi buta saat menyusui, saya sampai ingin nyawa ini diambil saja. Saya merasa kehilangan identitas saya yang dulunya selalu ceria dan positif menatap hidup.

Saya baru mulai agak tenang, ketika saya tahu perasaan ini ternyata dialami banyak Ibu. Saya tidak sendirian. Menurut psikolog Elly Risman, depresi ringan pascamelahirkan, seperti perasaan tertekan, galau, dan sedih dialami oleh 50%-70% ibu baru. Bahkan, saya menemukan sebuah situs luar negeri, yang mengungkap curhat seorang ibu bahwa ia merasa tertipu dengan ungkapan kelahiran bayi adalah anugerah terindah. Kok, persis perasaan saya, ya?

Kalau tadinya saya agak enggan ngobrol dengan sesama ibu baru, saya mulai mencoba mendekatkan diri dengan ibu baru yang satu ‘rasa’ dengan saya. Misalnya Via, yang dua minggu setelah punya anak, menulis di twitter: I love my Dana so much, but God can I have my old life, just one day, please? Atau Lisa, salah satu teman gaul saya. Saat baru melahirkan, saya sempat pesimistis mendengar cita-citanya ingin memberi ASI hingga bayinya berusia 2 tahun. Tapi, apa katanya? “Selama menyusui, saya memang belum bisa diet dan harus mengorbankan kebahagiaan duniawi, tapi melihat Jovan tersenyum dan badannya sehat, keinginan jadi ratu pesta hilang.”

Mendengar pengalaman-pengalaman ini, saya ingin bangkit. Saya berusaha mencari akar, hal yang membuat saya selalu marah dan kesal. Jawabannya adalah rutinitas menyusui dan rasa rindu pada hidup saya yang lama.

Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, jika saya bisa cuti sebentar dari kegiatan menyusui dan bisa merasakan serpihan kecil dari kehidupan lama, mungkin saya bisa kembali happy.

Hal pertama adalah membiasakan anak tak tergantung menyusui langsung. Karena itu, mulai usia 5 hari, suster saya perintahkan menyendokkan ASI yang saya pompa. Setelah usianya seminggu, saya minta suster memberikan ASI dari botol (menyusui langsung frekuensinya lebih sering). Untunglah, bayi saya tidak bingung dengan variasi ini. Seminggu empat kali, saya meminta suster tidur bersama saya dan bayi, sehingga saya bisa istirahat.

Kedua, saya mendapat informasi, makin sering ASI dikeluarkan, makin cepat pula ASI terisi kembali. Syaratnya, konsumsi makanan sang ibu porsinya cukup dan bergizi. Gerakan bayi mengisap puting payudara, juga akan merangsang sirkulasi ASI deras dan lancar. Stok ASI cukup inilah yang membuat saya bisa meninggalkan bayi untuk sesekali gaul mulai usia bayi 3 minggu.

Namun, saya tetap prioritaskan kebutuhan anak. Maksimal dalam seminggu, saya pergi 4 kali saja. Sebelum pergi, saya luangkan 30 menit, untuk aktivitas menyusui atau memompa. Kalau mau keluar rumah, saya bernegosiasi dengan anggota keluarga lain, soalnya, saya belum berani meninggalkan bayi berdua suster. Keluar rumah maksimal 5 jam saja, karena saat itulah ASI saya sudah terisi maksimal dan harus dikeluarkan.

Ternyata, lebih dari 5 jam tidak pulang, saya rindu pada bayi saya. Pernah saya mengikuti acara girls night out saat usia si kecil sebulan. Sebelum pergi, wah, rasanya excited sekali, apalagi suami mau menjaga dia dan kami sudah punya stok ASI yang banyak. Satu jam… dua jam… tiga jam… saya memang masih happy, namun, begitu sudah tengah malam, saya tak sabar ingin pulang.

Lucunya, kalau sebulan lalu saya sangat menghindari aktivitas menyusui, kini saya malah merindukannya. Rasanya seperti jatuh cinta untuk pertama kali, tiap menatap wajah mungilnya. Hati ini bergetar kala dirinya tersenyum. Rasanya tidak penting lagi keinginan saya untuk berdiet atau pesta seru dengan teman-teman. Yang penting pangeran kecil saya bisa tumbuh sehat. It’s all about him now. Nothing else matters.

Penulis: Amanda Lavinia

[Dari femina 22 / 2010]

No comments:

Post a Comment

Bagikan ke :