Gayus, sebuah nama yang jika disebutkan atau mampir ditelinga kita atau mungkin terbaca oleh mata saya, entah apa sebabnya hal itu membuat saya mengarah pada satu kata : korupsi.
Korupsi adalah Extraordinary Crime, begitu kata orang-orang di TV. Korupsi adalah sebuah kejahatan yang luar biasa. Entah apa sebenarnya yang menjadi tolok ukur keluarbiasaanya itu. Saya tidak tahu persis kenapa korupsi diberi sebuah julukan sedemikan ngerinya itu, namun jika saya diperbolehkan untuk menduga-duga, sebutan itu dikarenakan efek yang ditimbulkan oleh sebuah kejahatan bernama korupsi ini.
Silahkan bikin daftar tentang dampak dari sebuah tindakan korupsi. Anda bisa mulai dari dampak nyata, yang sifatnya wadag. Misalnya tentang aspal yang rusak karena biaya pembuatannya di korupsi, tentang penyunatan uang yang sebenarnya buat rakyat miskin, atau tentang jembatan yang rubuh karena semennya dimakan sama kontraktornya dan banyak contoh lagi tentang bagaimana korupsi telah merusak tatanan hidup masyarakat secara fisik atau telah memotong usus berjuta-juta rakyat.
Selain itu, ada beberapa dampak lain yang sifatnya “non-fisik”. Merusak perilaku masyarakat, membentuk mental mencuri sebagian orang dan beberapa hal lain.
Masih ingat saat kasus Gayus mencuat kemudian ada “gerakan” dari masyarakat untuk menolak membayar pajak? Gayus entah secara langsung atau tidak telah membuat (sebagian) masyarakat merasa ragu untuk melakukan kewajibannya sebagai warga negara, membayar pajak. Korupsi yang telah dilakukan Gayus telah menciderai hati masyarakat, membuat luka sedemikan dalam hingga membikin sebagian dari kita melakukan pembangkangan terhadap negara, tidak membayar pajak, ataupun jika membayar tidak disertai dengan keiklasan.
Membayar pajak adalah kewajiban. Jika dalam ranah agama, tidak menjalankan kewajiban itu dosa. Kalau untuk tidak membayar pajak itu dosa atau tidak secara agama? Saya tidak tahu, silahkan tanya MUI. Namun satu hal yang pasti, bahwa tidak menjalakan kewajiban sebagai warga negara adalah sebuah pelanggaran hukum. Meskipun disisi lain saya juga menyadari betapa sakit hatinya masyarakat yang tidak mau membayar pajak itu oleh tingkah laku Gayus ini.
Selain itu, saya juga mencatat bahwa perilaku Gayus juga berpotensi untuk memancing orang lain bertindak serupa. Mencuri uang negara, memperkaya diri dengan cara menugikan uang negara, uang rakyat.
Perilaku Gayus sekaligus bagaimana dia diperlakukan selama ini bisa jadi telah membuat orang lain terispirasi. Anda boleh mengatakan itu hiperbola, saya terlalu membesar-besarkan masalah. Akan tetapi kemungkinan yang saya ungkapkan ini bisa jadi memang kenyataan. Bahwa ada orang-orang yang merasa mencuri puluhan atau ratusan milyar dari kantong negara itu ga masalah, toh paling dihukum beberapa tahun saja, setelah keluar masih bisa menikmati hasil curiannya. Toh dalam penjara masih diperlakukan bak raja, bisa jalan-jalan dan lain sebagainya.
Kemungkinan itu ada, bisa jadi Gayus telah banyak mengispirasi orang-orang tertentu untuk berbuat serupa.
Sehingga apakah salah jika saya menyebut Gayus adalah penjahat moral? Bahwa dia telah meracuni otak orang, telah merusak moral orang lain. Entah telah membuat orang lain membangkang pada negara atau telah membuat orang untuk berfikiran (atau malah telah bertidak) serupa dengan dia.
Namun yang membuat saya mengerutkan dahi adalah kenapa saya tidak pernah melihat para “polisi moral” ada disidang Gayus? Kenapa para “polisi moral” hanya ada di sidang Ariel, mereka teriak-teriak di depan gedung pengadilan dengan membawa spanduk bertuliskan kecaman kepada Ariel yang telah dianggap merusak moral anak bangsa.
Pertanyaan selanjutnya di kepala saya adalah : apakah moral itu hanya berhubungan dengan kelamin? Apakah mencuri uang negara bukan ada hubungannya dengan moral? Kenapa “polisi moral” hanya mengawal sidang kelamin?
No comments:
Post a Comment