Friday, December 3, 2010

SEBUAH OPINI : “Republik Vs Monarki”: Sedikit-sedikit Kok Minta Pisah...APAAN TUHHH..

Adu argumen “Republik vs Monarki” memunculkan buntut yang tidak enak: keinginan untuk melepaskan Ngayogyakarta Hadiningrat dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Yang menggelindingkan ide itu entah bercanda atau serius, tapi saya yakin mereka berpikiran mengendalikan negara itu sama seperti mengendalikan becak.

Belum lekang dari ingatan gegap-gempitanya rakyat Timor-Timur ingin merdeka dari “penjajahan” Indonesia. Setelah merdeka dan buru-buru mengubah nama menjadi Timor Leste, satu-satunya prestasi yang bisa mereka banggakan adalah berhasil masuk dalam daftar negara termiskin di dunia.

Timor Leste adalah bukti paling jelas di depan mata bahwa mengendalikan negara itu tidak semudah menyetir becak. Walaupun memiliki Ramos Horta dan Uskup Belo yang dua-duanya adalah peraih Hadiah Nobel Perdamaian, tetap saja bukan jaminan negaranya akan tata tentrem kerta raharja. Australia yang dulu mengumbar janji manis akan membantu Timor Leste, kini kesannya malah mengentuti negara kecil itu.

Lagipula, sumber kemarahan publik Yogyakarta itu hanya akibat komentar “keceplosan” Presiden SBY pribadi. Kenapa harus disikapi dengan meminta pemisahan wilayah? Reaksi cengeng? Bukan. Bagi saya, itu reaksi bodoh.

Jika omongan presiden, yang notabene adalah manusia yang bisa khilaf dan keceplosan, ditanggapi segalak itu, niscaya Indonesia yang didirikan dengan tumpahan darah ini akan terpecah menjadi 30 negara kecil. Lalu dengan manisnya negara-negara adidaya akan mengeksploitasi habis-habisan 30 negara kecil ini. Lha wong bersatu jadi negara besar saja masih jadi korban eksploitasi Amerika, apalagi terpecah menjadi negara-negara kecil.

Katakanlah Yogya merdeka. Lalu tiba-tiba negara muda itu diserang Australia. Kekuatan militer apa yang akan dikerahkan menghadapi jet-jet tempur termutakhir yang melayang-layang di atas langit Kraton? Mengirim prajurit Lombok Abang dengan senapan kunonya yang sudah tak berpeluru?  Mengirim pasukan Nyi Roro Kidul yang cuma eksis dalam dongeng? Minta Mbah Petruk mengirim wedhus gembel?

Itu baru soal peperangan. Kita belum lagi bicara soal administrasi negara yang lebih ruwet. Saya yakin pakar paling ahli dari UGM pun tidak mampu berpikir bagaimana seandainya Yogya harus memisahkan diri dari NKRI.

Jika seorang presiden dianggap mengeluarkan komentar yang salah, cukup beri komentar balik, habis perkara. Kenapa mesti diperlebar ke urusan memerdekakan diri? Inikah akibat terlalu banyak menonton sinetron gombal di televisi yang ketika dua sejoli bertengkar dengan mudahnya mengucapkan kata: “Aku minta cerai! Cerai! Cerai!”?

Dalam lingkup keluarga, kalau saja pertengkaran kecil sudah bisa dijadikan alasan untuk bercerai, alangkah dangkalnya pemikiran seperti itu. Tidak hanya bersalah kepada sang anak, tapi mereka juga bersalah kepada ratusan orang yang sudah datang ke acara pernikahan dan mendoakan kedua sejoli itu untuk rukun sampai maut memisahkan keduanya.

Ketika negara-negara modern di dunia justru ingin bersatu menjadi blok politik besar (contoh: Uni Eropa), sangat mengecewakan melihat rakyat negara ini justru ingin terpecah-pecah.  Sentimen kesukuan menguat akhir-akhir ini yang diikuti melemahnya semangat untuk merawat NKRI yang tengah gering 10 tahun terakhir ini. Di saat penduduk negara-negara modern lain meleburkan identitasnya menjadi world citizen, kita justru memilih hal sebaliknya.

Dalam hidup ini kalau terpaksa bertengkar, bertengkarlah secara sehat. Sedikit-sedikit bertengkar itu baik untuk kesehatan otak dan jiwa. Tapi jangan cepat ngambek. Bodoh dan kekanak-kanakan itu namanya.

Bimo Tejo-KOMPASIANA

No comments:

Post a Comment

Bagikan ke :