Friday, February 18, 2011

3 Persen Dokter di Amerika Ngetweet Jorok Soal Pasiennya

Kebebasan berekspresi di dunia maya jadi ancaman bagi profesionalisme dokter di Amerika. Lewat jejaring sosial seperti Twitter, sebagian dokter di negara itu melakukan pelanggaran etika profesi termasuk membocorkan privasi dan melecehkan pasiennya.

Dalam sebuah penelitian di George Washington University, para ahli mengungkap bahwa 4 persen dokter di Amerika pernah ngetweet hal-hal yang tidak profesional. Angka ini didapat dari pengamatan terhadap 5.156 pesan di Twitter yang ditulis oleh 260 dokter, masing-masing dengan lebih dari 500 follower.

Pelanggaran etika yang terjadi di Twitter didominasi oleh pelecehan terhadap pasien, yang angkanya mencapai 3 persen. Jenis pelecehan itu meliputi penyebutan istilah-istilah cabul, pembocoran privasi pasien dan pernyataan-pernyataan yang bersifat diskriminatif.

Selain pelecehan, masih ada lagi 1 persen pelanggaran etika profesi yang dilakukan para dokter Amerika di Twitter sehingga totalnya ada 4 persen dokter yang ngetweet dengan tidak profesional. Kategori yang terakhir ini lebih banyak berhubungan dengan informasi yang menyesatkan.

Beberapa dokter dalam kategori ini ngetweet hal-hal yang intinya mempromosikan suatu produk kesehatan, yang tentunya tidak dibenarkan jika dilakukan oleh dokter. Parahnya, klaim tentang produk dalam pesan-pesan di Twitter kadang berlebihan dan tidak sesuai dengan indikasi sebenarnya.

"Hasil penelitian ini bisa menjadi pertimbangan untuk menentukan perlu tidaknya pengawasan terhadap dokter yang aktif di jejaring sosial," ungkap Prof Dr Katherine Chretien yang memimpin penelitian tersebut, seperti dikutip dari HealthDay, Jumat (18/2/2011).

Prof Chretien mengakui, sebagian besar pesan atau informasi kesehatan yang disampaikan para dokter di Twitter memang sangat bermanfaat bagi pasien. Namun jika ada dokter di Twitter yang memberikan informasi menyesatkan maka hal itu sangat tidak profesional dan harus dikontrol.

Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association edisi 9 Februari 2011.

http://health.detik.com/read

No comments:

Post a Comment

Bagikan ke :