Friday, October 29, 2010

Jangan Sebut Mbah Maridjan Bodoh Karena Setia Sampai Mati!!!

Temen-temen pasti mengenal sosok seorang pria separuh baya yang sering di panggil dengan nama Mbah Maridjan. Siapa sebenarnya Mbah Maridjan? Kenapa belakangan ini dia jadi sorotan publik? Kenapa banyak orang yang malah menyebut Mbah Maridjan bodoh?

Mbah Maridjan memang bukan siapa-siapa. Tetapi, kakek berusia 83 tahun itu memperoleh perhatian khusus di antara puluhan korban Merapi yang dikuburkan kemarin. Isak tangis ribuan orang mengiringinya ke liang lahat.

Publik menghormati Mbah Maridjan karena dia adalah contoh paripurna tentang ketaatan pada perintah sampai mati. Mayatnya yang ditemukan dalam posisi sujud menjelaskan sebuah rasionalitas lain yang dipuja sampai akhir hayat tanpa kompromi.

Modernitas tidak selamanya sanggup menjelaskan apa yang dilakoni dengan totalitas oleh seorang Mbah Maridjan.

Dalam soal nilai kesetiaan dan tanggung jawab, rasionalitas sering gagal menerjemahkan batas di antara keduanya. Postulat modern menyebutkan kesetiaan dan tanggung jawab memiliki dosis, ada ambang batas.

Di atas takaran itu, modernitas menganggap kesetiaan sebangun dengan kekonyolan. Orang yang mempertaruhkan nyawa demi tanggung jawab dan kesetiaan diartikan sebagai ketololan.

Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mbah Maridjan ditunjuk sebagai juru kunci Merapi. Dia memperoleh gelar Abdi Dalem Juru Kunci Redi Merapi Mas Panewu Surakso Hargo karena tugasnya itu. Itulah tugas keramat yang dibela sampai mati.

Ia menolak mengungsi karena bagi Mbah Maridjan yang sudah diberi amanah menjadi juru kunci, mengungsi sama dengan desersi. Ia memilih mati ketimbang lari.

Bagi Mbah Maridjan, mati demi menunaikan tanggung jawab lebih terhormat ketimbang hidup, tapi berkhianat.

Ia memegang prinsip : Mergo Wis saguh, Yo Kudu Lungguh Sing Kukuh, Ora Mingkuh (Karena Sudah Sanggup, Harus Teguh dan Tidak Beringsut).

Sebuah potret sejati seorang pemegang amanat, yang sulit dicari tandingannya dari para pemangku amanat di negeri ini. Itulah nilai-nilai yang sejatinya pernah hidup dalam diri para pejuang di negeri ini, tapi sekarang terkubur oleh kenaifan kepentingan sempit.

Tidak banyak lagi pengabdian, nyaris nihil tanggung jawab. Mereka hanya mau nangkanya, tapi ogah terkena getahnya. Ramai-ramai mengakui jika ada keberhasilan, tetapi buang badan ketika muncul persoalan.

Karena itu, kita angkat topi setinggi-tingginya untuk kesetiaan sampai akhir tanpa pamrih dari seorang yang langka, Mbah Maridjan. Seorang Surakso Hargo yang berarti ‘orang yang memiliki kelebihan menjaga gunung’. Seorang yang setia dalam kerja sunyi menjaga gunung selama 28 tahun.

Selamat jalan Mbah Maridjan. Hormat kami untukmu!
 
Ditulis oleh Nenglya
sumber : mediaindonesia

No comments:

Post a Comment

Bagikan ke :